Aku terperangkap dalam sebuah kabut yang kelam, sebuah kabut yang tak berkesudahan. Ujung-ujungnya dipenuhi jurang, membuatku tak dapat berpaling ke mana-mana. Aku terdiam saja di sini, di hutan rimba penuh kegelapan. Matahari tak pernah peduli padaku. Di sini aku kegelapan, kulitku pucat, dan bahkan kini mataku takut melihat cahaya. Bintang yang membuat malam menjadi indah pun tak tampak, apalagi rembulan. Yang ada hanyalah kegelapan, aku, dan angin yang membuat tubuhku menggigil.
Di sini, aku berada dalam penantian panjang. Kutunggu secercah cahaya datang, menghampiriku, membawakanku sebuah selimut hangat untuk tubuhku yang ringkih dan kedinginan. Namun, semakin lama aku berharap, semakin lama aku berada di sini. Cahaya tak kunjung datang, gelap semakin pekat. Adakah aku ini mahluk terkutuk yang sudah tak dapat lagi merasakan keindahan dunia? Mengapa duniaku hanya terpaut di sini saja, sementara kalian di sana bersenang-senang dalam warna-warni cahaya?
Adakah aku bersalah atas sesuatu, sesuatu yang membuatku terperangkap di sini? Wahai ilalang saksi ceritaku, mungkin ini bukanlah suatu kesalahan. Aku manusia, dan aku pun berhak mengenal sesuatu bernama cinta. Namun cinta kali ini sangat menyakitkan. Awalnya dia mengajakku menari di rerumputan, dengan kupu-kupu dan aneka bunga liar penghias alam. Aku tersenyum, tertawa, dan menari bersamanya. Matahari bersinar lembut dan angin membelai rambutku pelan-pelan. Senyumnya membawaku melayang, melayang melintasi angkasa, melayang tak tentu arah. Tak ada keindahan seperti itu yang pernah kurasakan sebelumnya. Kau tau? Aku ketagihan. Setiap jengkal perjalananku, kuingat namanya. Setiap bait puisi yang kulantunkan adalah persembahan untuknya. Setiap kata yang keluar dari mulutku adalah pujian untuknya. Semuanya terasa indah, begitu indah. Bahkan, ketika mendengar namanya saja, dadaku bergetar. Wahai ilalang saksi ceritaku, itulah aku yang masih bersinar cerah bak bintang timur ketika cinta menghampiriku.
Namun, sejenak keindahan hilang, sedetik saja, ketika sebuah pikiran merasuki kalbuku. "Adakah dia untukku? Atau aku saja untuknya?" Sejenak setan merasukiku, menghipnotis lewat aliran darahku, sehingga tiap butir darah yang keluar adalah darah kebencian, darah kemunafikan. Seketika seperti ada api yang amat dahsyat. Padang rumput yang semula teduh tempat aku bermain-main bukan terbakar, tapi hangus dan hanya menyisakan tanah hitam. Matahari yang bersinar redup mulai ditutupi awan tebal, tak tampak walau sedikit saja sinarnya. Semuanya mati, semuanya lenyap, bahkan angin pun terdiam.
Aku sadar aku mencintainya, namun cintanya tak berbalas untukku. Di mana aku yang dulu? Kemarin sering kukatakan, bahwa cinta ini tak mesti dibalas, bahkan tak mesti diketahui. Namun kini, mengapa ada rasa aku ingin memilikinya? Mengapa kini ada sebuah keharusan membalas cinta? Inilah yang mengutukku. Pembalasan cinta darinya sangat menyakitkan. Mengapa dia yang selama ini menerima dengan hangat seluruh cintaku, berpaling pada bunga lain yang tak sepantasnya? Rasa gengsiku memuncak dalam jantung, membuat detakannya tak lagi stabil, setiap saat dipercepat, dan aku mendekati kematian...
Dia yang begitu aku cinta, sudah tak kenal lagi denganku. Adakah sedikit saja hatinya untukku? Atau seluruh cinta yang kuberikan telah direbut olehnya?
Kutukan inilah, yang membuatku terperangkap di tempat ini. Sering kuberharap, ini akan berlalu. Biarkanlah ini berlalu, karena aku sudah tak sanggup lagi mengingatnya.
Kuceritakan semua ini padamu ilalang, saksi ceritaku. Terserah, apakah akan kau ceritakan pada pengelana yang lewat, atau kau buang bersama bunga-bungamu yang beterbangan.
No comments:
Post a Comment