Hanya sebuah pena, pena murah yang tak terlalu anggun. Hitam warnanya sehitam hatiku waktu itu. Entah mengapa pena itu bisa jatuh dan berada di tanganmu. Tersipu malu aku waktu kau berikan padaku. Kau tersenyum penuh persahabatan, membuat hatiku kembali terang di antara gelapnya keterasingan.
Hey, kau. Siapa namamu? Perkenalkanlah padaku. Aku butuh seorang teman di sini untuk bersamaku.
Kau mengulurkan tangan, mengajakku berkenalan. Nama yang sangat bagus kau perkenalkan padaku. Sejak detik itu aku tahu, kau adalah laki-laki baik hati. Kisah selanjutnya ditulis oleh pena ini, pena yang selalu membuatku tersenyum malu-malu setiap malam jika kuingat kau.
Sungguh, kau benar-benar membiusku. Kau istimewa, kau hebat. Benar-benar hebat.
Waktu itu aku masih sangat kecil, kau perkenalkan aku pada sebuah keajaiban bernama cinta. Sungguh indah semua kenangan itu.
Kau ajak aku berlari ke puncak-puncak Himalaya. Kau ajarkan aku bagaimana cara menghirup udara segar pegunungan, kau perlihatkan padaku keindahan dunia. Lebih dari itu, kau ajarkan aku kebebasan tanpa kekangan. Kau ajak aku berpetualang.
Selanjutnya, cerita senang dan sedih bergantian ditulis oleh pena ini. Ada senyuman dan air mata. Dan air mata tumpah ruah saat kita tak bersama lagi. Kau pergi tinggalkan aku.
Australia?! Mengapa tak sekalian saja kau ke kutub utara, menjadi dokter untuk beruang-beruang kutub itu. Atau begini saja, tak usah jadi dokter. Jadi makanan mereka saja di sana. Siapa tau mereka sedang kelaparan di sana!
Kau ucapkan salam perpisahan, kutahu saat itu kita sudah tak ada hubungan apa-apa. Kau hanya temanku. Namun dari semua tatapan tajam matamu itu, kutahu tak ada kata teman di sana. Kau hanya tak pernah mau jujur padaku. Entah apa yang membuatmu begitu. Tapi lihatlah ujungnya, setiap akhir semester atau akhir tahun pelajaran, kau tinggalkan Australia dan kembali ke sini.
Kau kembali menjadi hantu yang selalu mengetuk pintu rumahku saat lewat jam 8 malam. Apa maumu? Mengganggu jam istirahatku saat musim liburan tiba? Hah, melihat wajahmu saja aku bosan. Cepatlah kembali kuliah sana, di sini kau tak berguna.
Tapi kau cuek saja, seakan tak peduli pada semua yang telah kuucapkan. Pernahkah kau tersinggung? Marah? Kesal? Mana kutahu. Ekspresi wajahmu sama saja. Diam-diam pena ini mengintip setiap pertemuan kita, atau apa saja yang kita tuliskan di chat, atau juga apa saja yang kita bicarakan. Pena yang jahil, dia menuliskan semuanya.
Jangan terlalu percaya diri. Kau tahu aku mencintaimu, tapi jujur saja, aku tak perlu mengatakannya atau menunjukkannya. Toh, kau sendiri tak pernah peduli padaku.
Ajaibnya sang waktu, dia perlahan mengubahmu menjadi pribadi yang aku mau. Diam-diam, ketika datang malam-malam ke rumahku, kau raih buku pelajaranku. Mencaci maki aku sebentar saja karena kebodohanku, lalu selanjutnya yang kaulakukan adalah mengajariku banyak hal. Aku sangat berterima kasih untuk itu. Dapat kukatakan, kau mengubah pola pikirku terhadap suatu masalah. Pertanyaannya hanya satu: MENGAPA TAK KAU LAKUKAN ITU SEJAK DULU?!
Ketika aku memilih cinta yang lain, bukan dirimu lagi, kau hadapi itu dengan besar hati. Bahkan, kau katakan kalau kau bahagia mendengarnya. Sudahlah, aku tahu bukan bahagia yang tercermin dari suaramu ketika itu. Itu adalah suara penuh derita dan kekecewaan. Bukan maksudku menyakitimu, tapi hanya saja, tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Lagipula, bukankah di sana kau punya yang lain?
Jangan salah pilih saja, nanti menyesal. Kaupikir aku tahu soal perempuan? Hah, aku lebih mengenal soal laki-laki. Coklat, hitam, putih, atau apapun warnanya, laki-laki sama saja.
Mengapa kau bicara seperti itu? Menjelek-jelekkan kaummu sendiri di depanku? Tak sadarkah kau? Selama ini aku menganggap kau berbeda dari yang lain. Kau lugu, apalagi kalau soal berurusan dengan perempuan. Bahkan kau mengakui, dulu hanya aku perempuan yang ada dalam hidupmu, selain guru-gurumu yang rewel itu.
Sungguh, cerita-cerita tentangmu ini membuatku tersenyum dan menangis di saat yang sama. Ketika mengingat kembali masa-masa dulu, aku menjadi lemah tak berdaya, namun juga menjadi kuat di saat yang bersamaan. Aku kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya.
Lalu, kabar kepergianmu itu...
Andai saja orang lain yang ada dalam kabar itu, aku tak akan sesedih ini. 2 malam aku tak dapat tidur dan menangisimu. 2 hari aku tak tahu harus berbuat apa. Aku seperti orang mati saja. Mungkin kau lihat aku dari sana. Yah, tak usah munafik, begitu banyak kenangan bersamamu. Suaramu saja masih terngiang di telingaku sampai sekarang. Aku tak mengatakanmu kejam karena meninggalkanku, tidak pernah. Hanya saja ini terlalu cepat.
Aku sudah kehilangan a truly big brother and lover. Bisakah kau kembali saja, ucapkan padaku bahwa semua itu hanya lelucon yang kau buat hanya untuk mengetahui apa sebenarnya perasaanku padamu? Bisakah kau muncul saja di hadapanku, memelukku, memukulku, atau lakukan hal-hal lucu lainnya? Sungguh aku tak tahan jika harus seperti ini terus! Tapi kau tak pernah datang lagi. Kau tak akan pernah datang lagi. Dan aku terpuruk sendiri.
Kini aku sadar, tidak selamanya orang yang kucintai akan berada di sampingku. Tak mengapa, kau tetap ada di hatiku. Dan lihatlah kini, semua keinginanmu terjawab. Semua keinginanmu kupenuhi. Sekarang, bisakah aku memimpikanmu kembali malam ini?
Tinta pena ini hampir habis. Mungkin hanya cukup untuk menuliskan beberapa kata terakhir. Tapi aku bingung, apa yang akan kutuliskan? Apa kata-kata terakhirnya? Aku lebih suka menyimpan saja pena ini. Tak akan ada kata terakhir, karena tak akan pernah ada akhir dari cerita ini. Kau abadi selamanya, bahkan kau abadi bagiku yang tak akan pernah menjadi abadi ini.
Inilah cerita sebuah pena. Berawal dari sebuah pena, akhir dari sebuah cerita.